Dolar AS Nyaris Rp 14.000, Apa Imbasnya ke Kehidupan Sehari-hari?

Jakarta – Nilai dolar Amerika Serikat (AS) hampir menembus angka Rp 14.000. Angka ini tanpa disadari sudah mulai memberikan dampak terhadap beberapa jenis usaha di Indonesia.

Beberapa sektor usaha sudah menyadari dampak depresiasi rupiah belakangan ini. Dampak yang dirasakan sektor usaha tersebut karena produk yang dijualnya atau bahan dasarnya berasal dari impor.

Sebab, jika nilai dolar tinggi maka rupiah yang dikeluarkan semakin banyak atau mahal, meskipun harga dalam satuan dolarnya tetap sama.

Pelaku usaha yang terkena dampaknya pun memilih untuk menahan laju produksi alias efisiensi, hingga tidak ingin membeli stok dalam jumlah banyak terlebih dahulu.

Berikut imbas tingginya dolar AS ke kehidupan kita sehari-hari:

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) bakal mengencangkan ikat pinggang guna mengantisipasi keperkasaan dolar terhadap rupiah.

Wakil Ketua GAPMMI Sribugo Suratmo mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah langsung berdampak pada biaya bahan baku impor untuk makanan.

“Sebagian besar bahan baku yang impor itu langsung kena, gandum, tepung terigu, sebagian kita kan memang terus terang memakai bahan baku itu,” kata Sribugo saat dihubungi detikFinance, Jakarta.

Selain gandum dan tepung terigu, bahan baku pembuatan plastik kemasan pun terkena dampaknya. Sehingga harga jual makanan dan minuman dalam kemasan berpotensi naik.

“Jadi ya makanan dan minuman dalam kemasan, kalau minuman kan botol plastik, bahan baku pelastiknya impor,” ujar dia.

Meski demikian, kata Sribugo, GAPMMI masih belum menentukan kapan untuk menaikan harga makanan dan minuman dalam kemasan yang bahan bakunya berasal dari impor. Yang pasti pihaknya akan mengefisiensikan produksi.

“Siap-siap pasti, dan yang penting harus efisien, jangan boros. Seminggu dua minggu ini,” tutup dia.

Keperkasaan dolar terhadap rupiah pun langsung memberikan dampak terhadap beberapa produk impor, salah satunya suku cadang (sparepart) sepeda motor yang rata-rata berasal dari impor.

Hal itu juga diakui oleh beberapa bengkel penjual suku cadang dan pelengkap sepedamotor yang berlokasi di Jalan Raya Otto Iskandar Dinata atau yang dikenal Otista, Jakarta Timur.

Hendrik, salah satu penjaga toko Pasti Jaya Makmur (PJM) ini mengaku belakangan ini harga suku cadang mengalami kenaikan sekitar 10%.

“Harganya naik sekitar 10%, sudah dua bulan yang lalu,” kata dia kepada detikFinance, Jakarta.

Dia menyebut hampir semua produk suku cadang yang dijualnya ini hasil impor dari Thailand yang didapatkan dari distributor besar. Handrik juga menyadari kenaikan harga bisa dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah.

Tidak hanya itu, naiknya harga sparepart impor ini juga mempengaruhi penjualan tokonya. Dia mengaku belakangan ini tokonya sepi dari pembeli pembeli.

Sementara Aen, seorang karyawan toko King Motor ini menyebutkan harga jual helm mengalami peningkatan belakangan ini, khususnya yang impor.

“Helm yang kita jual lokal sama impor, lokal itu contohnya KYT, INK, NHK, kalau impor merk Zeus dari Vietnam,” kata Aen kepada detikFinance, Jakarta.

Dia menyebut harga setiap merk helm berbeda-beda dan sesuai dengan tipenya. Untuk KYT awalnya dijual sekitar Rp 220.000 sampai Rp 550.000. Helm merk INK dibanderol sekitar Rp 300.000 sampai Rp 700.000, sedangkan helm impor merk Zeus sekitar Rp 550.000 sampai Rp 750.000.

“Sekarang harganya rata-rata naik, dikasih tahu oleh distributor,” ujar dia.

Dia mengaku kenaikan harga helm pun hanya didapatkan dari pihak distributor. Namun, dirinya menyebut kenaikan harga helm impor ini biasanya dikarenakan beberapa hal, mulai dari stok yang terbatas, hingga pengaruh nilai tukar.

“Sepertinya ada pengaruh sama nilai tukar, makanya distributor cuma kasih tahu kalau harga naik,” ungkap dia.

Salah satu penjual barang elektronik di Harco Mangga Dua, Yuni mengatakan pada dasarnya kenaikan nilai tukar dolar bisa memengaruhi harga jual. Tapi hal tersebut hanya berdampak sedikit.

“Ada dampaknya tapi nggak banyak, kira-kira 2% sampai 5% lah (harga jual),” kata Yuni kepada detikFinance.

Yuni mengatakan, misalnya modal yang harus ia keluarkan Rp 100 ribu karena dolar menguat, kenaikan itu akan dia bebankan ke harga jual.

Ia menjelaskan kenaikan barang-barang elektronik ini sebenarnya sudah berlangsung sejak satu bulan lalu. Namun hal ini bukan berkaitan dengan kenaikan mata uang dolar.

Selain itu, pedagang lainnya Heri juga mengatakan hal yang sama. Ia tidak terlalu khawatir karena kenaikan nilai tukar dolar hanya berpengaruh sedikit ke harga penjualan elektronik.

Lebih lanjut, Heri menjelaskan saat ini dampak kenaikan nilai tukar dolar belum terasa di penjualan barang elektronik. Ia pun memperkirakan kenaikan mata uang dolar akan berdampak nanti.

“Belum terasa soalnya orang-orang belum kepikiran ini. Tapi mungkin setelah ini baru terasa,” pungkasnya.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution memperkirakan saat ini pergerakan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah sudah lebih kondusif setelah nyaris tembus Rp 14.000.

“Dolar sudah lebih tenang. Memang kemarin itu minggu lalu memang Presiden AS pakai Twitter mulai menuduh lagi beberapa negara manipulator kurs (nilai tukar mata uang), sehingga pasar mulai bergerak” katanya ditemui di Hotel Shangri-La, Jakarta.

Darmin meyakini keperkasaan dolar AS yang sudah terjadi beberapa waktu ini tidak akan berlanjut. Menurutnya rupiah berpeluang kembali ke level Rp 13.500 per dolar AS.

Darmin menambahkan bila rupiah bergejolak akibat gangguan eksternal atau dari luar negeri, maka kendalinya ada di Bank Indonesia (BI) untuk mengintervensi.

“Sebenarnya memang kalau asal dari luar, itu BI yang akan intervensi. Tetapi pemerintah untuk jangka pendek itu tidak ada yang langsung, selalu pemerintah menyehatkan fundamental ekonomi, itu fungsinya dalam stabilisasi kurs,” tambahnya.

 

Sumber : https://finance.detik.com